Muktamar PPP Ricuh dan Dualisme Kepemimpinan

Muktamar PPP Ricuh dan Dualisme Kepemimpinan – Partai Persatuan Pembangunan (PPP), salah satu partai politik tertua di Indonesia, kembali menjadi sorotan publik setelah Muktamar ke-10 yang digelar di Ancol, Jakarta, berlangsung ricuh. Acara yang seharusnya menjadi ajang konsolidasi partai justru menimbulkan perpecahan internal yang memperlihatkan adanya dualisme kepemimpinan. Dua tokoh penting, Muhammad Mardiono dan Agus Suparmanto, sama-sama mengklaim diri sebagai Ketua Umum PPP periode 2025–2030.

Kericuhan ini bermula pada hari kedua muktamar ketika sebagian peserta merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Pihak pendukung Mardiono mengklaim bahwa pemilihan dilakukan secara aklamasi setelah mayoritas peserta menyetujui laporan pertanggungjawaban pengurus sebelumnya. Namun, kelompok lain menilai bahwa proses tersebut tidak sah karena tidak melibatkan seluruh perwakilan wilayah dan tidak sesuai dengan tata tertib muktamar.

Suasana yang semula tenang berubah menjadi tegang ketika sebagian peserta meninggalkan ruang sidang. Beberapa saksi mata mengatakan bahwa terjadi adu mulut antara dua kubu yang saling mempertahankan klaim kemenangan. Panitia pelaksana bahkan sempat menunda jalannya acara untuk mencegah terjadinya bentrok fisik di lokasi.

PPP, yang dikenal sebagai partai berbasis Islam moderat, sudah beberapa kali mengalami perpecahan internal dalam dua dekade terakhir. Konflik kepemimpinan bukan hal baru bagi partai ini. Dalam sejarahnya, PPP pernah terbelah pada tahun 2014 antara kubu Romahurmuziy dan Djan Faridz, serta pada 2020 saat terjadi konflik pasca-Muktamar Jakarta. Kini, sejarah seolah berulang kembali, memperlihatkan betapa rapuhnya struktur internal partai yang didirikan pada masa Orde Baru tersebut.

Kericuhan ini menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak. Para pengamat politik menilai bahwa konflik berkepanjangan di tubuh PPP dapat mengancam eksistensinya di kancah politik nasional. Jika tidak segera diselesaikan, partai ini dikhawatirkan akan kehilangan kepercayaan publik menjelang Pemilu berikutnya.

Pernyataan Dua Kubu dan Reaksi Publik

Setelah kericuhan terjadi, kedua kubu langsung menggelar konferensi pers terpisah. Muhammad Mardiono, yang sebelumnya menjabat sebagai Plt Ketua Umum PPP, menyatakan bahwa muktamar telah berlangsung sah dan sesuai mekanisme organisasi. Ia mengklaim mendapat dukungan dari 28 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dari total 38 wilayah di seluruh Indonesia. Menurutnya, keputusan aklamasi merupakan bentuk kebulatan tekad kader untuk melanjutkan kepemimpinannya.

Mardiono menegaskan bahwa kepemimpinannya akan berfokus pada upaya modernisasi partai dan penguatan akar konstituen di tingkat daerah. Ia juga menolak anggapan bahwa proses pemilihannya cacat hukum. “Kami menjalankan muktamar ini dengan semangat persatuan, dan semua yang hadir telah menyetujui hasilnya. Tidak ada yang dipaksakan,” ujar Mardiono dalam keterangan persnya.

Di sisi lain, Agus Suparmanto, yang juga merupakan mantan Menteri Perdagangan dan tokoh senior PPP, menganggap hasil muktamar tersebut tidak sah. Ia menyebut bahwa banyak peserta yang dikeluarkan secara sepihak dari ruang sidang dan tidak diberi kesempatan menyampaikan pandangan. “Proses ini penuh kejanggalan. Muktamar seharusnya demokratis, bukan ditentukan sepihak,” tegas Agus dalam pernyataannya.

Agus kemudian menggelar forum tandingan yang dihadiri oleh sejumlah DPW dan DPC yang menolak hasil muktamar versi Mardiono. Dalam forum tersebut, ia juga dideklarasikan sebagai Ketua Umum PPP hasil “Muktamar Rakyat”, yang diklaim lebih terbuka dan sesuai AD/ART partai.

Dualisme kepemimpinan ini segera menjadi perhatian publik dan media nasional. Banyak pihak menilai bahwa konflik semacam ini mencerminkan lemahnya tata kelola internal partai politik di Indonesia. “PPP kembali tersandung masalah klasik: perebutan kursi ketua umum. Padahal, semestinya mereka fokus membangun strategi menghadapi Pemilu,” ujar seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia.

Di media sosial, masyarakat ramai memperbincangkan isu ini. Sebagian menyayangkan bahwa partai yang memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam justru sibuk dengan konflik internal. Banyak pula yang menganggap bahwa kericuhan ini menunjukkan adanya perebutan pengaruh di dalam tubuh partai menjelang pembagian jabatan strategis di pemerintahan baru.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menjadi pihak yang ditunggu keputusannya. Keduanya memiliki kewenangan untuk menentukan versi kepengurusan mana yang sah secara hukum. Hingga kini, kedua kubu sama-sama mengajukan berkas legalisasi ke Kemenkumham untuk mendapatkan pengakuan resmi.

Sementara itu, beberapa elite politik dari partai lain menyarankan agar kedua kubu duduk bersama dan mencari jalan damai. Menurut mereka, penyelesaian lewat jalur hukum justru akan memperpanjang konflik dan menguras energi partai. “PPP adalah bagian penting dari sejarah politik Indonesia. Akan sangat disayangkan jika perpecahan ini terus berlanjut,” ujar salah satu tokoh senior Nahdlatul Ulama.

Dampak Konflik terhadap Citra dan Masa Depan PPP

Konflik yang berulang di tubuh PPP bukan hanya sekadar masalah internal, tetapi juga berdampak besar terhadap citra partai di mata publik. Survei beberapa lembaga menunjukkan bahwa elektabilitas PPP cenderung stagnan bahkan menurun setelah kericuhan muktamar. Publik menilai bahwa partai tersebut belum mampu menunjukkan soliditas dan kepemimpinan yang kuat.

Sebagai partai yang memiliki akar di kalangan pesantren dan masyarakat Islam tradisional, PPP sebenarnya memiliki basis konstituen yang loyal. Namun, dengan munculnya partai-partai baru yang juga mengusung nilai-nilai keislaman seperti Partai Gelora, PKB, dan PAN yang semakin menguat, PPP terancam kehilangan dukungan.

Konflik ini juga berpotensi menimbulkan dampak terhadap posisi PPP di parlemen. Jika tidak segera diselesaikan, dualisme kepemimpinan bisa menghambat proses administrasi internal, termasuk pengajuan calon anggota legislatif dan pengelolaan dana bantuan politik. Dalam beberapa kasus sebelumnya, konflik semacam ini menyebabkan partai kehilangan hak administratif dalam mengikuti pemilu.

Beberapa pengamat juga menilai bahwa konflik di PPP mencerminkan fenomena umum di dunia politik Indonesia: ketergantungan partai pada figur, bukan pada sistem kelembagaan. Ketika figur tertentu tidak bisa mencapai kesepakatan, partai menjadi mudah terpecah. PPP dinilai perlu melakukan reformasi struktural agar tidak terus menerus terjebak dalam siklus perpecahan.

Meski demikian, masih ada harapan bagi PPP untuk bangkit. Jika kedua kubu mampu menurunkan ego dan mengutamakan kepentingan partai, peluang untuk melakukan rekonsiliasi tetap terbuka. Banyak kader muda PPP yang menyerukan agar dilakukan islah nasional—yakni pertemuan seluruh pihak untuk mencari kesepakatan damai dan membentuk kepengurusan bersama.

Langkah ini diyakini dapat mengembalikan kepercayaan publik sekaligus memperkuat posisi PPP di kancah politik nasional. Selain itu, partai perlu memperbarui strategi komunikasi publik dan memperkuat peran kader muda agar bisa bersaing di era politik digital.

Kesimpulan

Kericuhan dalam Muktamar ke-10 PPP yang memunculkan dualisme kepemimpinan antara Mardiono dan Agus Suparmanto menunjukkan bahwa persoalan internal partai masih menjadi tantangan besar bagi demokrasi Indonesia. Konflik ini bukan hanya persoalan personal, tetapi juga mencerminkan lemahnya sistem kelembagaan dan tata kelola organisasi politik.

Apabila konflik ini tidak segera diselesaikan, PPP berisiko kehilangan kepercayaan masyarakat dan posisi strategisnya di panggung politik nasional. Namun, jika kedua pihak mampu menempuh jalan rekonsiliasi dengan semangat kebersamaan, PPP masih punya peluang untuk bangkit sebagai partai Islam yang moderat dan berpengaruh.

Sejarah panjang PPP membuktikan bahwa partai ini pernah menjadi kekuatan politik besar yang mampu menjembatani kepentingan umat dan negara. Kini, tantangan terbesar bagi PPP adalah membuktikan bahwa mereka masih bisa bersatu, solid, dan relevan di tengah perubahan lanskap politik Indonesia yang semakin dinamis.

Scroll to Top